Ketika Bencana Tak Lagi Menakutkan

Namanya Watanabe, usianya kurang lebih 40 tahun, berprofesi sebagai seorang nelayan di Miyazaki, kota dimana saya tinggal untuk melanjutkan pendidikan saya, tahun lalu. Saya bertemu dengannya secara tidak sengaja beberapa di sekitar pelabuhan saat saya bersepeda menyusuri sudut-sudut kota Miyazaki.
Begitu saya menyebut Indonesia ketika memperkenalkan diri, Watanabe mengangguk-ngangguk kecil tanda tahu tentang Indonesia. Saya Tanya bagaimana bisa tahu Indonesia, ternyata memorinya menyebut bahwa dia mengenal Indonesia ketika ada berita bencana tsunami tahun 2004 silam. Saya cepat memaklumi karena sebagai nelayan yang sangat bergantung dengan laut, apalagi hidup di negara yang akrab dengan bencana alam, tentu berita mengenai tsunami aceh akan menarik perhatiannya.
Obrolan pun berlanjut, saya penasaran mengenai pengalamannya dalam menghadapi tsunami karena saya pikir pasti dia sering mengalami bencana tsunami. Watanabe bercerita bahwa seumur hidupnya memang belum pernah mengalami bencana tsunami seperti tsunami aceh. Menurutnya, tsunami terbesar yang pernah terjadi di Miyazaki justru terjadi sekitar 150 tahun yang lalu. Begitu pun ketika bencana Sanriku tsunami tahun 2011 melanda Jepang, Miyazaki tidak terkena dampak yang berarti. Namun terkait gempa dan taifun, Watanabe menyebut memang sering terjadi di kota Miyazaki. Saya pun mengamini, karena selama kurang lebih setahun disini, saya pernah juga merasakan gempa ataupun taifun di kota ini. sebagai kota pesisir, gempa yang bersumber dari laut maupun kiriman angin taifun frekuensinya sangat sering terjadi.
Ada cerita menarik tentang bagaimana dia mempersiapkan diri menghadapi bencana, khususnya tsunami. Selain secara rutin diharuskan mengikuti pelatihan siaga bencana menghadapi tsunami (tsunami drill) yang diselenggaran pihak pemerintah kota, ternyata Watanabe juga banyak berhubungan dengan nelayan dari kota lain. Sedikit penasaran, apa hubungannya?
Ternyata meskipun saling berjauhan, rupanya biasanya tsunami akan menjalar dari satu kota ke kota lain. Jika ada informasi dari nelayan dari kota lain tentang tsunami di daerahnya, dengan cepat dia dan nelayan lainnya akan memindahkan perahunya ke tengah laut, agar tidak mengalami kerusakan. Dia bercerita bahwa daya rusak tsunami akan lebih besar di daerah pantai dibandingkan tengah laut, sehingga ketika ada informasi akan potensi tsunami dia akan segera memindahkan perahunya ke lautan.
Pantesan saja, saya teringat kisah waktu tsunami pangandaran beberapa tahun silam, ada cerita orang yang baru berlayar terkaget-kaget ketika melabuh ke pangandaran, melihat daerahnya sudah porak poranda. Rupanya posisinya berburu ikan jauh dari titik rawan tsunami.
Dari ceritanya, ada satu benang merah yang bisa ditarik. Betapa pendididikan sangat penting dalam upaya mereduksi korban dari bencana. Dalam cerita Watanabe, mungkin terkait bencana tsunami. Akan tetapi dalam konteks bencana lainnya, tentu klaim ini juga berlaku.
Terkait seminar kesiapan menghadapi bencana, mungkin ada baiknya sedikit membandingkan kondisi di Jepang dan di Indonesia. Selama setahun tinggal di Miyazaki, saya sudah mengikuti seminar ini sebanyak 2 kali. Ini wajib diikuti oleh semua penduduk. Demikian pula simulasi bencana, entah itu gempa, atau tsunami, warga wajib mengikutinya. Suka tidak suka, wajib ikut.
Bagaimana dengan di Indonesia? Hmm, sepanjang yang saya tahu, belum pernah tuh pihak pemerintah kota mewajibkan warganya ikut seminar atau simulasi kesiagaan bencana. Setidaknya di kota saya, entah di tempat lain. Tapi sepertinya sama saja yaa? Hehe.
Maksudnya, dari sini kita bisa belajar bagaimana mereka (Jepang) mempersiapkan sedini mungkin warganya dalam menghadapi bencana, dengan mewajibkan warganya untuk ikut seminar dan simulasi bencana. Sementara di kita?
Jangan salah, nenek moyang kita sebenarnya sudah punya banyak pengalaman soal kesiapan menghadapi bencana ini. Kita punya banyak cerita dari leluhur kita tentang ‘tanda-tanda’ alam sebelum terjadinya bencana. Istilahnya, ada kearifan lokal dalam menghadapi bencana. Ini mungkin harus lebih digali dan diterapkan kembali di masyarakat kita. Saya yakin, sedikit banyak akan sangat berpengaruh dalam kesiapan menghadapi bencana.