Jangan Ada Stigma Bagi Penyintas Kusta

Selain India dan Brasil, Indonesia ternyata menjadi negara dengan penderita kusta terbanyak. Stigma dan diskriminasi pun masih menjadi pekerjaan rumah bagi masyarakat kita.
Fakta diatas lumayan mengejutkan. Saya pikir kita sudah bebas dari kusta atau lepra ini sejak lama, mengingat sudah tidak banyak lagi informasi yang beredar mengenai penyakit ini. Penyakit yang disebabkan kuman atau bakteri Mycobacterium leprae ini ternyata masih menjangkit masyakat Indonesia.
Kusta memang penyakit menular dan berbahaya, tapi bukan berarti tidak bisa disembuhkan. Termasuk soal penularan juga bukan berarti masif dan cepat. Perlu kontak yang lama sehingga penyakit ini menular.
Gara-gara informasi yang salah inilah kemudian muncul stigma dan pengucilan terhadap para penderita kusta. Ingatan saya melayang pada masa saat-saat masih kecil, pada medio tahun 80-90an penderita kusta di desa sekitar saya, banyak yang dikurung terpisah dari rumah dan kadang dipasung.
Saya mencoba mencari informasi perihal kusta. Kusta ternyata sudah ada obatnya. Pengobatannya memang membutuhkan waktu lama tergantung tipe penyakitnya. Rata-rata ada direntang 5-12 bulan. Selanjutnya, soal penularan juga tak sepenuhnya benar. Kusta memang menular melalui ludah ataupun droplet, tapi penularan akan terjadi apabila terjadi interaksi yang lama dan menahun, maka apabila kontaknya hanya sekilas harusnya kita tidak perlu khawatir.
Sayangnya, saat ini stigma dan diskriminasi masyakarat terhadap penderita maupun penyintas penyakit ini masih tinggi. Diskriminasi terhadap Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) pun kerap terjadi.
Fakta ini saya dapati ketika mengikuti kegiatan talkshow Ruang Publik KBR dengan tema Makna Kemerdekaan bagi OYPMK, seperti apa? yang dilaksanakan pada hari Rabu, 24 Agustus 2022 lalu. Rekamannya bisa disimak pada kanal Youtube Berita KBR atau link berikut.
Hadir dalam Talkshow tersebut dua orang pembicara inspiratif. Ada Dr. Mimi Mariana Rusli dari Mimi Institute, dan Marsinah Dhedhe, seorang aktivis perempuan, difabel dan seorang OYPMK.
Dr. Mimi menggarisbawahi bahwa salah satu cara untuk menghapus stigma adalah dengan mengedukasi masyarakat tentang persepsi yang keliru tentang penyakit kusta ini. Hal ini bisa dimulai dengan memberi pemahaman terhadap keluarga terdekat. Cara penanganan penyakit kusta masa lalu sudah harus diubah. Penyakit kusta sudah ada obatnya, sehingga bisa disembuhkan dengan perawatan yang intensif. Dukungan keluarga bagi penderita kusta pun perlu dibangun sebagai penyemangat penderita kusta untuk sembuh.
Hal ini diamini oleh mbak Dhedhe, ia menyebutkan bahwa dukungan keluarganya sangat besar. Keluarga tidak mempermasalahkan perubahan kulitnya (salah satu dampak dari penyakit kusta), keluarganya senantiasa mengantarnya untuk mendapat layanan pengobatan di puskesmas terdekat.
Stigma justru dirasakan Dhedhe dari tetangga sekitarnya. Karena ada perubahan kulit dan fisik, Dhedhe yang menderita kusta saat kecil sudah dikucilkan. Ia dilarang bermain dengan anak-anak sebayanya oleh orang tua teman-temannya. Yang parah adalah ia juga mendapatkan diskriminasi di sekolah, Dhedhe sempat diusir oleh guru dan dilarang masuk sekolah. Sedih sekali ya?
Selain stigma, diskriminasi ternyata menjadi persoalan berikutnya. Selain dikucilkan, ternyata diskriminasi juga dialami bahkan sampai dengan mbak Dhedhe sudah sembuh dan menjadi OYPMK. Selain dikucilkan, ternyata persoalan juga muncul misalnya dalam hal kesempatan kerja. Pengalaman mbak Dhedhe dan OYPMK lainnya, kesempatan kerja bagi OYPMK dan penderita disabilitas lain begitu terasa di dunia kerja. Banyak perusahaan dan instansi yang tidak memberikan kesempatan bagi mereka untuk bekerja. Padahal faktanya, para penyandang disabilitas ini menyumbang proporsi yang besar bagi angka pengangguran. Pada sisi lain, pemerintah melalui Undang-Undang Ketenagakerjaan sudah mengamanatkan untuk prinsip keadilan kesempatan kerja ini, termasuk bagi OYPMK dan disabilitas.
Dari sini, saya pikir upaya untuk bisa mewujudkan kemerdekaan bagi OYPMK maupun penderita kusta adalah dengan mulai memperbaiki mindset kita terhadap mereka, dan tentu saja memberikan kesetaraan kesempatan bagi mereka dalam berbagai hal.