Memaknai Negeri Nusantara di Tanah Paman Sam

Sebagai bangsa yang pernah dijajah ratusan tahun, salah satu penyakit akut warisan penindasan kolonial adalah perasaan inferior dibanding negara lain. Meskipun sudah 71 tahun merdeka, masih banyak yang mengelu-elukan apa yang dimiliki negara lain dan mengerdilkan bangsa sendiri.

Masyarakat kita sering menganggap hebat bangsa asing. Tengok saja, selepas masa reformasi, alih-alih membangun bangsa Indonesia dengan bersandar pada kebudayaan dan identitas bangsa sendiri, kita secara tak sadar banyak menyerap beragam budaya dan gaya hidup bangsa luar yang belum tentu baik bagi bangsa ini. Perlahan namun pasti, budaya bangsa tergerus ke pinggiran, berganti dengan apa yang ada di negara lain yang menjadi barometer modernitas.

Salah satu indikasi yang bisa dilihat adalah bagaimana anak muda saat ini cenderung lebih menyukai budaya pop barat ala Amerika atau Korean style yang sedang mewabah di dunia, dan mulai melupakan budaya bangsanya sendiri. Coba saja tanya tentang salah satu seni tradisional nusantara, rasanya tak banyak dari mereka yang faham akan salah satu kekayaan budaya negeri kita ini.

Ironisnya, pada saat yang sama banyak orang asing yang terkagum-kagum pada apa yang dimiliki oleh bangsa ini. Banyak dari mereka yang rela menghabiskan waktunya untuk belajar tentang negeri ini. Kajian tentang negeri ini banyak dibuka diberagam universitas terkemuka dunia. Sabagai contoh, Amerika memiliki Ohio University yang telah menghasilkan puluhan professor ahli kajian Indonesia. Di Australia, Australian Nasional University (ANU) banyak membuka kelas khusus yang mempelajari budaya Indonesia. Bagi mereka,  Indonesia serupa laboratorium beragam disiplin ilmu pengetahuan yang masih berselimut misteri yang menarik untuk digali. Mulai dari seni, budaya, sejarah, bentang alam, bahkan intrik politik yang mewarnai perjalanan bangsa ini selalu menarik untuk dikaji.

Ada sedikit kekhawatiran apabila orang Indonesia sendiri sudah tak memiliki hasrat untuk mencintai apa yang mereka miliki, sementara orang lain begitu kuat tertarik untuk meneliti negeri ini, pada saatnya nanti justru kita yang harus belajar pada mereka tentang apa yang ada pada bangsa ini.  ini serupa dengan kejadian untuk memperdalam sejarah bangsa ini, kita harus merujuk pada Museum Leiden di Belanda mengingat banyak arsip nasional serta artefak jaman prasejarah maupun kerajaan banyak tersimpan disini.

Melalui buku Kopi Sumatera di Amerika ini, Yusran Darmawan mencoba memberi perspektif tentang nilai-nilai kebesaran tanah air yang justru ditemukannya di negeri Adidaya, Amerika Serikat. Buku yang berisi kisah hidupnya selama menuntut ilmu di tanah Paman Sam ini terasa berbeda dengan buku serupa yang banyak ditulis juga oleh para pelajar ataupun diaspora yang bermukim di luar negeri. Alih-alih menceritakan puja puji terhadap negara lain, Yusran lebih memilih melakukan kontempelasi dan menunjukkan sisi lain dari bangsa ini yang patut dibanggakan namun terkadang terlupakan. Menariknya, Yusran mampu menunjukkan sisi lain Indonesia ini justru dari hal-hal sepele yang ditemuinya. Rasanya tak banyak penulis jeli melihat dan menuliskannya dalam buku yang mereka tulis.

Buku ini terdiri dari 43 kisah yang dibagi dalam lima bagian. Yusran mengumpulkan cerita tentang keunggulan bangsa Indonesia pada bagian dua buku ini: Ada Indonesia di Negeri Paman Sam yang terdiri dari 13 kisah. Disini diceritakan bagaimana kekagetannya mengetahui wayang Bali dipentaskan oleh seorang professor kenamaan yang begitu fasih bertutur bukan hanya tentang kisah Ramayana atau Mahabarata, tetapi juga bicara mengenai filosofi dibalik cerita itu. Wayang Bali ternyata bukan soal seni pertunjukkan, tetapi lebih jauh ada sisi religious, tentang komunikasi antara manusia dengan jiwa leluhur, yang tentu saja menjadi kultur budaya Bali. Apakah ada orang Indonesia yang bisa memaknai seni wayang ini sedemikian jauh? Ini bisa menjadi tamparan lebih bagi orang Indonesia itu sendiri.

Pada kisah lain, Yusran bertutur tentang banyaknya bule Amerika yang mempelajari budaya Indonesia. Ia bertemu dengan salah seorang mahasiswa yang mempelajari Bahasa Indonesia sampai level mahir. Mahasiswa itu beralasan mengapa ia fokus mempelajari Bahasa Indonesia adalah karena ia memprediksi Bahasa ini akan segera menjadi Bahasa dunia. Menurutnya, penutur Bahasa Indonesia menempati posisi keempat terbesar di dunia. Ini adalah hal yang patut kita banggakan dan perlu lebih serius menjaga kemurnian Bahasa ini, terlebih dengan banyaknya anak muda yang seenaknya memcampur Bahasa Indonesia dengan istilah-istilah asing agar dibilang trendi.

Pada kisah Kopi Sumatera di Amerika yang kemudian diangkat menjadi judul buku ini, Yusran memceritakan tentang beberapa produk Indonesia yang justru menjadi andalan negara lain. Ada kisah teman kuliahnya yang berasal dari Ghana yang senantiasa memakai baju batik khas negaranya, namun tetap mengakui kalau baju tersebut terinspirasi dari batik Indonesia, ada cerita tentang sepatu Nike, baju dengan merek Prada, Dolce atau Piere Cardin  yang dijual di gerai terkemuka namun ketika dilihat lebelnya tertulis Made in Indonesia, dan tentu saja cerita soal kopi Sumatera yang menjadi andalan gerai kopi terkemuka Starbuck. Menariknya Yusran kemudian membenturkan fakta ini dengan kebiasaan sebagian masyarakat yang selalu silau terhadap merek yang berbau asing, padahal pada saat yang sama produk tersebut justru dibuat di dalam negeri. Ia menyebutnya sebagai inferioritas budaya yang sedang menghinggapi sebagian kalangan di Indonesia. ia kemudian menguraikan alasan mengapa inferioritas budaya ini begitu mewabah dan tak lupa menyisipkan pesan untuk menyikapinya.

Sementara itu, untuk mengikis inferioritas yang banyak menghinggapi masyarakat Indonesia tersebut, Yusran menuliskan kisah tentang sisi kelam Amerika dalam bagian tiga : Tak Selalu Adidaya. Disini ia ingin menggambarkan bahwa Amerika ternyata tak seperti yang dibayangkan banyak orang. Di negeri yang katanya menjadi negeri impian itu, suara-suara sumbang menuntuk hak kebebasan masih saja diteriakkan. Pengemis  dan orang-orang homeless masih menjadi pemandangan umum di kota-kota negeri Amerika. Negeri yang katanya mengagungkan Hak Asasi Manusia ini ternyata masih begitu diskriminatif terhadap suku asli Amerika, Indian. Pada titik ini Yusran seolah ingin membisikkan bahwa kita tak perlu merasa kecil, karena negeri yang adidaya pun ternyata masih menyimpan segudang persoalan didalamnya. Lalu, kenapa pula kita selalu memuja mereka?

Sejatinya buku ini adalah kumpulan tulisan Yusran di Kompasiana, salah satu blog sosial terkemuka di Indonesia. mengingat satu tulisan dengan tulisan lainnya tak saling bersambung, buku ini tak perlu dibaca secara berurutan, meskipun penulisnya telah mengumpulkan beragam tulisan ini kedalam lima tema berbeda. Kemudian, karena sifatnya tulisan blog yang lebih luwes dari kaidah EYD, kisah-kisah dalam buku ini terasa begitu mengalir. Yusran tak bercerita secara baku layaknya tulisan ilmiah yang bisa mengurangi keintiman tulisan dengan pembacanya. Kekuatan buku ini terletak pada Kemampuan penulisnya menggunakan gaya bertutur Story Telling yang membuat buku ini nyaman dibaca tanpa perlu meninggalkan esensi pesan yang hendak disampaikannya.

Ofi Gumelar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *