Menyerap Berkah Matahari Untuk Listrik Anak Negeri

“Jam sepuluh semua harus sudah tidur ya, karena lampu akan dimatikan.” Begitu kata Pak Rafius mewanti-wanti pada kami.
Wasiat itu disampaikannya saat menerima saya dan teman-teman satu rombongan setibanya di Wae Rebo, desa adat di Nusa Tenggara Timur yang terletak pada ketinggian 1200 meter diatas permukaan laut itu. Pak Rafius adalah salah satu tetua adat yang saat itu bertugas memimpin ritual budaya penyambutan tamu.

Kami tiba selepas magrib menjelang malam. Saya sendiri sempat diliputi pertanyaan bagaimana rupa desa ini di malam hari, karena kabarnya disana tak ada jaringan listrik maupun sinyal selular. Desa ini seperti terisolir dari hiruk pikuk dunia.
Tapi rupanya desa adat ini tak sekolot yang saya perkirakan. Ada listrik mengalir disana. Setidaknya saya melihat di dalam rumah-rumah adat berbentuk kerucut tersebut menggantung lampu LED yang menyala pada atap-atap rumahnya. Tanda ada listrik mengalir? Darimana sumber listriknya?

“Kami menggunakan diesel untuk menerangi rumah-rumah disini, karena itu jam 10 semua lampu dipadamkan untuk menghemat listrik,” lanjut Pak Rafius seolah menjawab selintas pertanyaan dibenak saya itu.
Saya cukup kaget mendengar penjelasan beliau. Bukan apa-apa, dengan jarak dan medan yang harus ditempuh menuju perkampungan ini, saya membayangkan betapa beratnya penduduk Wae Rebo untuk membeli Solar sebagai bahan bakar diesel yang mereka punya. Asal tahu saja, untuk mencapai desa Wae Rebo ini, dari kampung terdekat kita harus mendaki jalan setapak sejauh 7 km dengan kontur menanjak tiada jeda. Kami saja membutuhkan waktu kurang lebih 4 jam untuk sampai di desa ini.
Berapa liter solar yang sanggup mereka pikul untuk menghidupkan mesin genset mereka demi mendapatkan aliran listrik bagi rumahnya?
===
Wae Rebo adalah potret salah satu wilayah di negeri nusantara ini yang belum mendapatkan hak mereka untuk mendapatkan listrik pemerintah. Boro-boro subsidi dana subsidi, fasilitasnya saja tidak ada. Selain desa ini tentu saja masih banyak wilayah di Indonesia yang masih belum teraliri listrik.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) rasio elektrifikasi Indonesia memang sudah mencapai angka 95 persen pada akhir tahun 2017. Artinya hanya sekitar 5 persen rumah tangga Indonesia yang belum menikmati listrik. Disinyalir angka 5 persen ini adalah mereka yang bermukim di daerah 3T (terdepan, terluar dan tertinggal), termasuk penduduk Wae Rebo. Kendalanya, masalah jarak dan medan yang berat untuk membawa alat-alat instalasi listrik susah untuk mencapainya, yang membawa konsekuensi pada biaya yang tinggi.

Selain urusan mengaliri listrik pada daerah 3T, dibalik angka 95 persen rasio eletrifikasi sebenarnya terselip potensi masalah lainnya. Selama ini PLN banyak mengandalkan instalasi pembangkit berbasis energi fosil, baik berbasis batubara maupun minyak bumi. Setidaknya ada dua problem terkait penggunaan energi fosil ini.
Pertama, beberapa penelitian menunjukkan bahwa cadangan energi minyak bumi dunia akan habis pada tahun 2050. Data menunjukkan bahwa cadangan batu bara saat ini sekitar 7,3-8,3 miliar ton yang diprediksi akan habis pada 2036. Sementara itu, stok minyak saat ini sebesar 3,7 miliar barrel diprediksi akan habis pada 2028. Bagaimana nanti PLN menghasilkan energi listriknya?
Kedua, seperti diketahui energi fosil termasuk salah satu polutan lingkungan tertinggi. Pemanasan global yang saat ini sedang terjadi adalah efek dari penggunaan energi fosil yang berlebih. Indonesia sendiri telah meratifikasi perjanjian untuk mengurangi emisi karbon pada tahun 2030, dan 314 ton karbondioksida diharapkan berkurang dari sektor energi.
Solusinya, pemenuhan energi listrik tak lagi bisa mengandalkan instalasi berbasis energi fosil. Trend terkini bangsa-bangsa di dunia juga sudah mulai mencari alternatif sumber energi yang unlimited dan ramah lingkungan. Sumber Energi Baru Terbarukan (EBT) seperti, panas bumi, angin, matahari dan mikrohidro banyak dilirik untuk dikembangkan. Khusus untuk kondisi geologis Indonesia dengan sebaran penduduk di daerah 3T, rasanya ada kriteria lain yaitu instalasi yang murah dan mudah dipasang di daerah terisolir.
Terkait hal ini, Indonesia sebenernya sudah punya roadmap untuk meningkatkan prosentase penggunaan energi terbarukan dalam pemenuhan energi nasional. Kebijakan Energi Nasional (KEN) punya target pada tahun 2025 nanti 23 persen energi nasional dipasok dari energi terbarukan. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Sementara sampai saat ini posisinya masih di angka 8 persen. Artinya perlu upaya intensif untuk mengejar target 15 persen menuju target KEN tersebut.
Sekarang, pertanyaannya adalah sumber energi terbarukan apa yang dapat dioptimalkan dalam mendukung pemenuhan target KEN serta dapat mensuplai listrik bagi wilayah-wilayah tertinggal di Indonesia?
Tanpa mengesampingkan sumber energi terbarukan lainnya, rasanya pemanfaatan energi surya paling cocok untuk menjawab pertanyaan itu. Riset mengenai pemanfaatan energi surya ini sendiri sudah banyak dilakukan dan implementasinya sudah bisa diterapkan.
Alasan terpenting mengapa instalasi listrik tenaga surya paling cocok diterapkan di negara kita tiada lain karena Indonesia tergolong sebagai negara yang memiliki intensitas energi matahari yang cukup sepanjang tahun diseluruh wilayahnya. Hampir seluruh wilayah Indonesia tersinari matahari sekitara 10-12 jam setiap harinya, dengan intensitas penyinaran rata-rata 4,5 kWh/m2 atau setara 112.000 GW. Data Solar Milenium AG menyebut Indonesia berada pada level Satisfactory (cukup) dalam hal intensitas radiasi energi matahari yang dapat diserap. Ini modal besar dalam memilih penerapan energi surya sebagai alternative sumber EBT.

Alasan berikutnya adalah, instalasi panel surya tergolong mudah dipasang dan dapat dioperasionalkan secara sederhana. Teknologinya sendiri dapat diinstal dalam skala komunal maupun rumah tangga. Beberapa teman saya yang tergabung dalam komunitas cahaya giat menyebar pemasangan panel surya di rumah-rumah penduduk yang tergolong tinggal di pedesaan. Sesimpel itu? Saya pikir untuk memasangnya di rumah-rumah penduduk di daerah 3T seperti Wae Rebo bukan hal yang sulit.
Kemudian, industri yang bergerak dibidang instalasi pembangkit listrik tenaga surya ini sudah banyak bermunculan di negeri ini. Sebut saja, salah satunya adalah Insun Power yang memberikan dukungan proyek menyeluruh mulai dari perencanaan, pemasangan, pemeliharaan dan perbaikan panel surya. Insun Power sendiri bermitra dengan Home NRH dari Belanda yang merupakan spesialis industri panel surya internasional.
Vivek Wadhwa, kolumnis Washington Post memprediksi masa depan energi dunia akan bergantung pada energi matahari dan angin. Pertumbuhan instalasinya bergerak secara eksponensial. Di negara barat sana, laju pertumbuhan instalasi surya yang terpasang meningkat dua kali lipat setiap tahunnya. Ia mempredisksi di tahun 2030, dunia akan seluruhnya bergantung pada sumber energi surya ini.
Meskipun Wadhwa sedemikian optimisnya, kondisi sebaliknya justru terjadi di Indonesia. Walau ada di level satisfactory, energi surya yang terpasang di negara nusantara ini baru memenuhi sekitar 8 MW dari total 112.000 GW potensi energi yang bisa diserap. Bandingkan dengan jerman yang mampu membangkitkan 25.000 MW padahal ia berada pada rentang terbatas (not satisfactory).
Lalu kenapa sampai saat ini belum banyak instalasi tenaga surya yang terpasang di negara kita? Saya menduga ada kelirumologi dalam melihat pemanfaatan EBT dalam kebijakan negara kita. Ada persepsi yang berkembang bahwa teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) ini tergolong teknologi mahal. Persepsi ini bahkan diutarakan oleh kedua tim kampanye calon presiden yang saat ini sedang bertarung untuk memimpin Indonesia lima tahun kedepan. Sedihnya, hal ini mencerminkan bagaimana teknologi surya dan EBT secara keseluruhan bukan menjadi prioritas dari kedua pihak. Artinya, bisa jadi lima tahun ke depan, target KEN sulit tercapai.
Baiklah, investasi untuk instalasi EBT memang ‘terlihat’ mahal. Kementerian ESDM menyebut dibutuhkan 1600 triliun rupiah untuk dapat mengejar target 23 persen energi EBT pada tahun 2025 nanti. Padahal yang namanya biaya itu relatif. Kalau melihat nominal secara keseluruhan, mungkin terlihat mahal. Akan tetapi kalau melihat dari output yang dihasilkan dari implementasinya, bisa jadi nilainya lebih value for money. Misal, dengan sekian juta dollar instalasi tenaga surya di suatu pulau terluar bisa mengalirkan listrik bagi masyarakat sekitar sehingga mereka bisa lebih berdaya. Perekonomian bisa jalan, akses telekomunikasi bisa terhubung, dan anak-anak dapat belajar lebih giat dimalam har. Mengapa hal seperti ini tak terhitung secara nominal?
Saya pribadi kalau melihat secara parsial skala rumah tangga, saya akan menyebutnya murah. Dari salah seorang teman yang tergabung dalam komunitas cahaya yang kerap menyumbangkan instalasi panel surya bagi rumah-rumah terpencil, katanya biayanya cukup murah. Untuk satu rumah dengan kapasitas daya sekitar 10 watt, mereka harus merogoh uang sekitar 350 ribu rupiah untuk satu instalasi sederhana. Bukankah ini relatif terjangkau?

Jadi, bagi saya persepsi teknologi tenaga surya ini mahal adalah sebuah kelirumologi pemerintah dalam melihat kebijakan pengembangan EBT ini. Kalau pun masih dibilang mahal, sebenarnya ada solusi kebijakan yang bisa diambil pemerintah. Apa itu?
Pertama, kalau memang tak ada porsi APBN bagi instalasi pembangkit tenaga surya ini, pemerintah bisa menggandeng dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia, baik itu BUMN maupun Swasta, baik perusahaan dalam negeri maupun luar negeri. Saya yakin ada banyak dana CSR yang bisa diolah disini. Pemerintah pusat bisa belajar cara Ridwan Kamil dalam mencari dana pembangunan sewaktu menjadi walikota Bandung. Ia roadshow ke beberapa negara luar demi menggaet dana CSR dari sana. Masa sih sekelas pemerintahan pusat gak bisa?
Atau, coba lihat gaya Jepang dalam menggunakan dana CSR ini. Kebetulan lima tahun lalu saya pernah kuliah di Universitas Miyazaki. Di sana, hampir setengah sumber energi listrik kampus berasal dari energi surya. Instalasinya disumbang dari berbagai perusahaan Jepang, seperti Sharp, Mitsubishi atau Sumitomo. Tentu dari dana CSR mereka. Simpelnya kita tinggal tiru plek saja, bisa kan?


Kedua, cari dana dari Lembaga donor dunia atau pun dari negara maju. Trend dunia saat ini justru sedang hangat membatasi pemanasan global melalui pencarian energi alternative EBT. Banyak negara maju maupun Lembaga keuangan dunia yang concern membantu mengembangkan penerapan EBT lewat dana bantuan mereka. Kenapa kita tidak memperbanyak proposal bantuan instalasi tenaga surya di daerah-daerah 3T lewat jalur ini? Sri Mulyani, saat masih bekerja di World Bank menyampaikan bahwa, “Lebih dari 90 persen pinjaman kami untuk pembangkit listrik ditujukan kepada energi bersih: gas alam, tenaga air, matahari, angin, dan panas bumi. Kami tidak memberikan pinjaman untuk pembangkit listrik tenaga batubara, kecuali bila kondisi tidak memungkinkan opsi yang lain”. Tuh, kan?
Ketiga, pakai saja skema PPP (Public Private Partnership) dengan perusahaan-perusahaan yang berminat berinvestasi dalam penerapan instalasi surya ini. Tinggal dibikin skema yang sama-sama menguntungkan, rasanya akan ada banyak perusahaan yang tertarik bekerja sama. Asal tahu saja, skema PPP bukan hanya diterapkan pada proyek besar aja, tapi juga bisa diterapkan untuk proyek-proyek skala komunal maupun bidang yang tak begitu popular.
Skema PPP ini bukan hanya domain pemerintah pusat saja, bisa juga mendorong skema kerjasama antara perusahaan dengan pemerintah daerah. Soal ini, lagi-lagi kita bisa mencontoh bagaimana Jepang menerapkan hal ini. Softbank, salah satu perusahaan seluler terkemuka di Jepang, mengajukan proposal untuk membangun instalasi panel surya di berbagai atap Gedung serta lahan pemerintah yang tak terpakai. Proposal ini kemudian disetujui 36 prefektur disana (setingkat Provinsi). Dengan skema yang sama, bisa saja satu perusahaan bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk menginstal panel surya dengan suatu kompensasi yang megnuntungkan. Tentu dibutuhkan regulasi yang mendukung, serta intensif dan kemudahan lainnya yang bisa mendorong skema ini.
Intinya, kembali lagi bagaimana willingness pemerintah melihat urgensi penerapan instalasi tenaga surya ini. Apakah mau membuat kebijakan yang pro EBT atau malah tetap memakai paradigma lama dan bergantung pada energi fosil? Kalau begitu, apa kabar nanti Wae Rebo dan daerah 3T lainnya? Kapan mereka bisa menikmati hak mendapatkan listrik?
Referensi:
- The Strongest Weapon to Shift Geopolitical Balances Isn’t Nukes or Missiles, It’s Technology.Vivek Wadhwa. washingtonpost.com
- Olah Potensi 112.000 GWp dengan Fotovoltaik. mmindustri.co.id
- Roadmap Kebijakan Energi Nasional: Sumber Daya energi jangan hanya Di Ekspor, Harus Menjadi Modal Pembangunan Nasional. bppt.go.id
- Promoting and Expanding The Use of Renewable Energy. Softbank Group
- Butuh Dana Rp. 1600 Triliun Kejar Target Pembangkit EBT. tirto.id
- Cadangan Minyak Dunia Habis 53 Tahun Lagi. finance.detik.com
- Energi dan Pembangunan Berkelanjutan: Berikutnya Apa? worldbank.org
- Energi Fosil Tergerus, Konversi Energi Kian Penting. kompas.com
- Jangan Hanya Fokus Pada Energi Fosil. Kompas.id
- Mengapa Dalih Mahal Demi Menghindari Energi Terbarukan Bermasalah? tirto.id